Sabtu, 18 Februari 2012

Jangan Mencampuradukkan Agama

image

Ketika dakwah Islam masuk ke tanah Jawa, Sunan  Ampel, Bonang,  Gunung  Jati  dan  terutama Sunan  Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni (aqidah maupun  ibadah) dan menghindarkan  diri  dari  bentuk  singkretisme  ajaran  Hindu  dan Budha.  Tetapi  sebaliknya  Sunan  Kudus,  Sunan  Muria  dan  Sunan  Kalijaga  mengkolaborasikan sisa ajaran Hindu dan Budha (sekatenan,  ruwatan,  shalawatan,  tahlilan,  upacara tujuh bulanan)di dalam menyampaikan ajaran Islam, yang sampai sekarang masih dijumpai di  masyarakat.
Dakwah Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam 14 abad lalu dilakukan terlebih dahulu dengan membangun pondasi akidah selama 13 tahun secara qat'i di tengah-tengah kaum paganis (penyembah berhala) di kota Mekkah. Hal ini agar masyarakat mengerti betul tentang ketauhidan, hanya menyembah satu ilah yaitu Allah Ta'ala, dan ilah-ilah yang mereka sembah sebelumnya adalah bentuk-bentuk dari kebatilan. Setelah itu barulah Beliau mengajarkan syariat-syariat lain, seperti perintah sholat, puasa, zakat, haji serta bagaimana cara bermuamalah. Dengan cara ini Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam memperoleh keberhasilan dalam dakwahnya, sementara Islam mencapai kejayaan hingga menyebar ke seluruh penjuru dunia.
    Berbeda dengan masuknya Islam di tanah air (Indonesia) yang sama-sama di tengah kaum paganis (penganut Hindu, Budha dan kepercayaan animisme dinamisme).
    “Dakwah yang dilakukan para ulama kita yang sering disebut walisongo tidak membersihkan pondasi Hindu yang menjadi mayoritas agama masyarakat saat itu. Mereka langsung mendirikan bangunan Islam, tembok, jendela, atap, catnya Islam tapi Hindunya tetap kelihatan. Salah satunya adalah selamatan pada hari ke 7, 40, 100, 100 itu berasal dari kitab Samaweda hal 373 ayat 1. Bunyinya pradiatmahi bibisari krigiagnawibseba ra arang gayamaya jimi prabaseba dwininara yang artinya antarkanlah persembahanmu itu, antarkanlah selamatanmu itu kepada leluhurmu di saat hari pertama, ke 7, 40, 100 mendak pisan mendak pindo dan 1000 hari,” ujar Ida Bagus Erit Budai Winarno, mantan pendeta Hindu yang kini memeluk Islam dengan nama Abdul Aziz.

Langkah Keliru Wali Abangan
    Salah satu buku karangan H Makhrus Ali yang mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium  Leiden Belanda, Sunan  Ampel  memperingatkan  Sunan  Kalijogo  yang  masih  melestarikan selamatan : “Jangan  ditiru  perbuatan  semacam  itu  karena  termasuk  bid'ah”.  Sunan Kalijogo  menjawab:  “Biarlah  nanti  generasi  setelah  kita  ketika  Islam  telah  tertanam  di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”. 
    Dalam  buku  Kisah  dan  Ajaran  Wali  Songo  tulisan H Lawrens pada halaman 41, 64 juga mengupas perbedaan pendapat antara Sunan  Kalijaga,  Sunan  Bonang,  Sunan  Kudus,  Sunan  Gunungjati  dan  Sunan  Muria  (kaum abangan), dengan  Sunan  Ampel,  Sunan  Giri  dan Sunan  Drajat  (kaum  putihan) mengenai  budaya dan adat  istiadat. Sunan  Kalijaga  mengusulkan  agar  adat  istiadat  lama  seperti selamatan, sesaji, wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Namun Sunan  Ampel  menentang : “Apakah  tidak  mengkhawatirkannya  di  kemudian  hari bahwa  adat  istiadat  dan  upacara  lama  itu  nanti  dianggap  sebagai  ajaran  yang  berasal  dari agama  Islam?  Jika  hal  ini  dibiarkan  nantinya  akan  menjadi  bid'ah dan syirik?”.  Sunan  kudus menjawabnya  bahwa  ia  mempunyai  keyakinan  bahwa  di  belakang  hari  akan  ada  yang menyempurnakannya.
    Akhirnya apa yang dikhawatirkan ulama putihan tersebut menjadi kenyataan. Kondisi umat Islam sangat memprihatinkan.  Ajaran syar'i  ternoda oleh gado-gado warisan wali abangan, di mana perkara yang sunnah dimatikan dan perkara bid'ah dan syirik tetap dihidupkan.
    Allah Ta'ala telah memperingatkan sebagaimanadalam firman-Nya yang berbunyi :
    “ orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS al An'am 82).
    “Selain bentuk-bentuk tasayabuh, ini adalah kesalahan besar yang sangat membahayakan akidah.Di samping itu ritual selamatan kematian banyak mengandung tipuan. Misalnya orang yang tidak beribadah, tapi dengan digelarnya prosesi  selamatan  setelah  kematiannya  akan  diampuni dosa-dosanya. Karena itu Imam Syafi'i menentang al-ma'tam,  yaitu  kumpul-kumpul di tempat  keluarga  mayat lalu makan-makan.” Ungkap ustadz Umar Abu Ubaidillah Lc di sela-sela kajian salafinya.***


sumber : majalah furqon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar